Saturday, April 18, 2020

Kasus Kasus Pada Komputer & Masyarakat

Kasus Kasus Komputer dan Masyarakat


  • Jual istri di Facebook, Satpol PP ditangkap polisi


Merdeka.com - Seorang pria di Surabaya ditangkap polisi karena menjual istri sendiri ke pria hidung belang. Pria itu diketahui bernama Ardi Cahyo Sudarmo yang bekerja sebagai outsourcing Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) Kota Surabaya. Dia saat ini meringkuk di Polrestabes Surabaya.

Warga Jalan Gunungsari Gang 3, Surabaya itu ditangkap Unit Perlindungan perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polrestabes Surabaya. Polisi melakukan penyamaran sebagai pria hidung belang.

"Awalnya, polisi tidak tahu kalau perempuan yang melayani dan dijual ke pria hidung ini adalah istrinya tersangka," terang Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Leonard Sinambela, Selasa (17/10).

"Kita ketahui, saat perempuan dan tersangka ini periksa, kemudian identitas alamatnya sama. Dari situ akhirnya baru diketahui, kalau perempuan dan tersangka Ardi ini pasangan suami istri," kata Leonard lagi.



Dalam pemeriksaan, tersangka menjual istrinya ke pria hidung belang, karena masalah ekonomi. Bahkan, Ardi sendiri juga meyakinkan pada istrinya. Demi kebutuhan ekonomi keluarga, solusinya adalah istrinya harus melayani pria hidung belang. Supaya kebutuhan hidup bisa terpenuhi.

Caranya, tersangka menjual istrinya ID yang berusia 25 tahun itu ke media sosial Facebook dan memasang fotonya juga. Dengan menggunakan nama akun 'siapa yang minat dengan pasutri khusus area Surabaya dan Sidoarjo'.

Apabila ada pria hidung belang yang berminat, maka Ardi akan mengirim pesan melalui Facebook tersebut untuk menentukan lokasi pertemuan.

"Tersangka memasang tarifnya menjual istrinya sendiri ke pria hidung belang itu mulai dari Rp 400 ribu hingga Rp 1 juta," ujarnya.

Harga tarif dipatok berbeda tergantung apa keinginan pria hidung belang. Contohnya, jika ingin berfantasi bermain threesome, maka sang pria hidung belang harus merogoh koceknya cukup besar Rp 1 Juta.

"Tersangka ini juga pernah memaksa istrinya supaya mau melayani tiga pria sekaligus untuk melakukan hubungan seks. Uangnya dari hasil menjual istrinya itu digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan bayar utang," kata Leonard.

Dia juga mengungkapkan, tersangka menjual istrinya sendiri sudah berjalan cukup lama, sejak tahun 2015. Selama itu, tersangka sudah berulangkali menjual istrinya ke pria hidung belang.

"Saat diperiksa ngakunya sudah lima kali menjual istrinya ke pria hidung belang. Tapi, penyidik masih belum yakin, dalam kurun waktu dua tahun mana mungkin menjual sebanyak lima kali, pasti lebih," ujarnya.


Akibat dari perbuatannya, polisi menjerat tersangka Ardi Cahyo Sudarmo dengan Pasal 2 UU RI No. 21 tahun 2007 tentang penghapusan tindak pidana perdagangan orang.


  • Kedapatan 'Judi From Home', Tujuh Warga Garut Ditangkap Polisi
Merdeka.com - Tujuh orang warga kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, ditangkap aparat kepolisian Resor Garut karena kedapatan judi togel online di salah satu rumah warga. Mereka diamankan bersama sejumlah barang bukti berupa transferan, rekapan, hingga uang tunai.

Kasat Reskrim Polres Garut, AKP Maradona Armin Mappaseng menyebut ketujuh orang yang ditangkap berinisial IR, DR, TR, DS, MI, AH, dan ES.

"Mereka ini ditangkap di dua lokasi berbeda. Ada yang ditangkap di daerah Desa Jati, ada juga di Desa Langensari. Dua desa itu di wilayah Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut," ujarnya, Jumat (27/3).

Penangkapan para pejudi online berawal dari adanya laporan warga tentang adanya aktivitas perkumpulan mencurigakan pada malam hari di rumah pelaku. Mendapati informasi tersebut, pihaknya yang tengah ikut patroli penanganan covid-19 langsung bergerak ke lokasi yang dilaporkan.

"Di lokasi pertama kita menemukan empat orang yang ternyata sedang judi togel online. Kita langsung bawa ke Mapolres untuk diperiksa lebih lanjut bersama sejumlah barang bukti," katanya.

Di lokasi lainnya, lanjut Maradona, warga pun melaporkan adanya perkumpulan yang mencurigakan. Saat didatangi, diketahui tiga orang yang juga tengah berjudi togel online. "Semuanya kita langsung bawa juga ke Mapolres," lanjutnya.

Berdasarkan pengakuan para pelaku judi yang diamankan, mereka diketahui berjudi online togel Hongkong dan Sidney. Mereka mengumpulkan nomor yang dipasang oleh pemasang dan di setorkan ke bandar dengan nomor rekening yang ada di website.

Pihaknya sendiri dari para tersangka mengamankan sejumlah barang bukti mulai dari uang tunai jutaan rupiah, sejumlah telepon genggam, buku tabungan, kartu anjungan tunai mandiri, kertas rekapan pemasangan judi, hingga bukti transfer.

Tujuh orang ini dijerat pasal Pasal 303 ayat 1 ke 1e, ke 2e dan ayat 3 KUHP subsider Pasal 303 bis ayat 1 ke 1e KUHP subsider pasal 27 ayat 2 juncto pasal 45 ayat 2 undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2016 tentang ITE.

Pasal tersebut sendiri menjelaskan tentang tindak pidana dengan sengaja menyediakan atau memberi kesempatan khalayak umum untuk permainan judi dan atau dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.

"Ancaman hukumannya maksimal 10 tahun penjara," tutupnya.
  • Ekspos Anak di Media Sosial Berujung Kekerasan

Jakarta, CNN Indonesia -- Tak bisa dipungkiri, kehadiran media sosial membuat sesuatu yang bersifat pribadi menjadi seolah-olah 'milik' publik. Termasuk di antaranya si buah hati kesayangan.

Media sosial membuat banyak orang tua beramai-ramai memamerkan laku si kecil yang menggemaskan. Beragam unggahan si anak membuat netizen terhibur dan merasa gemas.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan, kebiasaan mengekspose anak di media sosial secara tidak langsung memberi peluang untuk menjadikan si kecil sebagai korban.


Dalam pemantauannya, fenomena ini telah terjadi sejak 2-3 tahun ke belakang. "Dan ini [kebiasaan mengunggah foto anak] sangat berdampak negatif," tegas Arist, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/7).

Dampak negatif itu bisa dilihat dari catatan kekerasan terhadap anak yang dimiliki Komnas Anak. Selama periode Januari-Juni 2019, tercatat 420 kekerasan terhadap anak. Sebanyak 86 kasus di antaranya disebabkan oleh ekspose anak di media sosial. Artinya, sekitar 30 persen kasus kekerasan pada periode tersebut dipicu oleh munculnya laku-laku menggemaskan anak di layar gawai.

"Ini [kebiasaan mengekspose anak di media sosial] dikategorikan memberi peluang untuk anak menjadi korban penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain yang mampu mencederai anak," kata Arist.

Sebagai orang dewasa, seyogianya orang tua bisa melindungi anak. Orang dewasa diyakini paham betul mengenai apa saja risiko-risiko yang mengintai atas apa yang dilakukannya.

"Kalau dia [orang tua] pengin melindungi anak-anaknya, ya, jangan [ekspose anak di media sosial]. Orang dewasa seharusnya sudah tahu risiko," ujar Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, pada CNNIndonesia.com di Kantor KPAI, Jakarta, Selasa (23/7).

Risiko mengekspose tingkah laku anak di media sosial jelas eksis. Jika orang tua peduli, lanjut Ratna, maka mereka harus berhati-hati.

"Jangan bikin akun juga lah untuk anak yang masih kecil sekali. Kecuali dia sudah 13 tahun minimal," ujar Retno.

Tak Sepenuhnya Eksploitasi

Tak cuma memamerkan serangkaian kegiatan sehari-hari, beberapa anak di media sosial juga menjelma influencer cilik. Tak ubahnya influencer dewasa pada umumnya, aktivitas serupa endorsement pun dilakukan anak. 

Tengok saja Ryan. Influencer cilik asal Amerika Serikat itu berhasil mengumpulkan uang sebesar US$22 juta atau sekitar Rp370 miliar. Mengutip Forbes, uang dalam jumlah besar itu dikumpulkannya selama 12 bulan melakoni peran sebagai influencer cilik.

Dalam kanal YouTube, RyanToysReview, dia berbagi informasi seputar mainan edukatif untuk anak seusianya. Aksi Ryan bermain warna, polimer, hingga lego disajikan dalam kanalnya. Dia mengutarakan tentang apa yang membuatnya menyukai mainan tersebut.

Akibatnya, banyak orang bertanya-tanya, apakah kebiasaan ini bisa dianggap eksploitasi? Jawabannya, tak sepenuhnya eksploitasi.

Retno menjelaskan, kategori eksploitasi mencakup beberapa unsur. Pertama, anak dipaksa melakukan sesuatu. "Tidak senang dia [anak], tapi dipaksa," katanya. Kedua, jika anak tak mendapatkan bagian dari apa yang dihasilkannya sebagai influencer cilik.

"Nah, kalau dua unsur itu ada, baru bisa masuk kategori eksploitasi," kata Retno.

Akan berbeda jika si anak justru menyukai kegiatannya sebagai influencer cilik. "Kalau memang dia [anak] suka dan senang, tidak masuk eksploitasi," tegas Retno.


Meski tak ada hak yang dilanggar, namun kebiasaan itu membahayakan anak. Menempatkan anak pada posisi bahaya, lanjut Retno, termasuk pelanggaran.



No comments:

Post a Comment